Hadist
dan Strukturnya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran islam
kedua setelah Alqur’an. Kedudukan Hadist sangat peling bagi sarana informasi mengenai
syariat yang diajarkan nabi kepada umatnya. Masyarakat islam mutlak mengetahui
dan memahami sumber ajarannya, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi faktanya
banyak muslim yang tidak memahami
tentang Hadist. Sebagian dari mereka pun mengenal dan memahami hadist tetapi
seringkali implikasi dikehidupan sehari-harinya mereka abaikan. Untuk memahami
sumber ajaran islam tidak hanya proses inqury terhadap hal yang berhubungan
dengan sumber ajaran islam saja, hadist misalnya. Tetapi juga diperlukan
pemikiran yang kritis untuk memahaminya. Sehingga dapat menteladani seluruh
aspek kehidupan Rasulallah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hadist secara etimologi dan terminologi?
2.
Apa pengertian Sunnah, khabar, dan atsar ?
3.
Apa bentuk-bentuk hadist ?
4.
Apa saja struktur hadist?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun makalah ini dibuat untuk :
1.
Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah “Studi Hadist”.
2.
Menambah informasi mengenai pengertian dan struktur hadist.
3.
Untuk Mengetahui definisi hadist dan struktur hadist secara kontemporer.
BAB II
PENGERTIAN
DAN STRUKTUR HADIST
A.
Pengertian Hadist
1.
Pengertian Hadist menurut Bahasa (Etimologi)
Abul Baqa dalam penelitiannya
mengatakan, kata Hadits senada dengan kata tahdits, yang berarti ikhbar
atau memberi tahu. Kemudian pengertian ini berkembang mencakup segala
pekerjaan, ucapan, dan pengakuan Nabi Saw saja. Perkataan ikhbar
sebenarnya sudah digunakan sejak zaman pra-Islam yang artinya sama dengan
hadits. (Abdurrahman & Sumarna, 2011:192)
Sementara itu Syaikh Nuruddin ‘Itr
menyebut, Hadits adalah kebalikan dari qadim (sesuatu yang terdahulu
atau lama) dan dipakai juga dengan makna khabar. Di nyatakan dan
al-Qamus, “ al-Hadits huwa al jadiid wa al-khabar” (hadits artinya
sesuatu yang baru atau berita). Khabar menurut pakar hadits adalah
sinonim kata Hadits.”(Nuruddin,2012:14)
Dari beberapa pendapat diatas,
disimpulkan bahwa secara etimologi pengertian hadist itu adalah al’jadid
(yang baru). Artinya bahwa semua sabda nabi itu dianggap baru. Sedangkan
yang Qodim adalah Al-Qur’an. Hadist juga merupakan khabar, berita, dan
history yang memberi tahu tentang cara Rasulallah menjalankan syariat Islam.
Dalam al-qur’an, kata hadits ini
digunakan sebanyak 23 kali. Sebagai contoh :
a. Komunikasi religious
: risalah atau Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman,
ª!$# tA¨“tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏ‰ptø:$# $Y6»tGÏ. ….
Allah Ta’ala menurunkan secara
bertahap hadist (risalah) yang paling baik dalam bentuk kitab. ( Q.S Az-Zumar :
23 )
Firman-Nya lagi,
’ÎTö‘x‹sù `tBur Ü>Éj‹s3ム#x‹»pkÍ5 Ï]ƒÏ‰ptø:$# ( Oßgã_Í‘ô‰tGó¡t^y™ ô`ÏiB ß]ø‹ym Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÍÍÈ
Maka serahkanlah (ya Muhammad)
kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). nanti
Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah
yang tidak mereka ketahui. (Q.S. Al-Qalam : 44 ).
b. Kisah tentang suatu watak
sekuler atau umum.
Allah
SWT. Berfirman,
(#qä9$s%ur Iwöqs9 tAÌ“Ré& Ïmø‹n=tã Ô7n=tB ( öqs9ur $uZø9t“Rr& %Z3n=tB zÓÅÓà)©9 âöDF{$# ¢OèO Ÿw tbrãsàZムÇÑÈ
dan
mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad)
malaikat[459]?" dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah
selesai urusan itu[460], kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun).
(Q.S AL-An’Am : 6 ).
[459]
Maksudnya: untuk menerangkan bahwa Muhammad s.a.w. itu seorang Nabi.
[460]
Maksudnya: kalau diturunkan kepada mereka malaikat, sedang mereka tidak juga
beriman, tentulah mereka akan diazab Allah seketika, sehingga mereka binasa
semuanya.
c. Kisah Historis
Allah
SWT berfirman,
ö@ydur y79s?r& ß]ƒÏ‰ym #Óy›qãB ÇÒÈ
Apakah
telah sampai kepadamu kisah Musa? (Q.S Thaha : 9 )
d. Kisah Kontemporer
Allah
SWT berfirman,
øŒÎ)ur §Ž| r& ÓÉ<¨Z9$# 4’n<Î) ÇÙ÷èt ¾ÏmÅ_ºurø—r& $ZVƒÏ‰tn $£Jn=sù ôNr'¬7tR ¾ÏmÎ çntygøßr&ur ª!$# Ïmø‹n=tã t$¡tã ¼çmŸÒ÷èt uÚ{ôãr&ur .`tã <Ù÷èt ( $£Jn=sù $ydr'¬6tR ¾ÏmÎ ôMs9$s% ô`tB x8r't7Rr& #x‹»yd ( tA$s% u’ÎTr'¬7tR ÞOŠÎ=yèø9$# çŽÎ6y‚ø9$# ÇÌÈ
dan ingatlah ketika Nabi
membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu
peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan
Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad
lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan
Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad)
memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya:
"Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab:
"Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal." (Q.S At-Tahrim : 3 ).
Dari ayat ayat tersebut, kita bisa
menyimpulkan bahwa kata hadist telah digunakan dalam Al-Qur’an dalam arti
“Kisah”, “komunikasi”, atau “risalah”, religious maupun secular, dari suatu
masa lampau ataupun masa kini.[1][2]
2.
Pengertian Hadist Secara Istilah (Terminologi)
Secara terminologis, para ulama, baik muhadistin, fuqoha,
ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadist secara berbeda-beda.
Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek
tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran
ilmu yang didalaminya. [2][3]
Ulama
hadist mendefiniskan hadist sebagai berikut,
كل ما اثر عن النبي صلى الله عليه
وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة او خلقية او خلقية
Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi. [3][4]
Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadist adalah,
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه
وسلم غير القران الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي
Hadist adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, selain AL-Qur’anulkarim, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hokum Syara.[4][5]
Adapun menurut istilah para Fuqoha, hadist adalah,
كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه
وسلم ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب.
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi
SAW. Yang tidak bersangkut pat dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[5][6]
Perbedaan pandangan tersebut
kemudian melahirkan dua macam pengertian hadist, yakni pengertian secara
terbatas dan pengertian secara luas.[6][7] Pengertian
hadist secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur Al-Muhadistin,
adalah :
ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم
قولا او فعلا او تقريرا او نحوها.
Segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
sebagainya.[7][8]
Dengan demikian, menurut ulama
hadist, esensi hadist adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ihwal adalah
segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.
Adapun pengertian hadist secara luas, sebagaimana dikatakan
Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah,
ان الحديث لا يختص بالمرفوع اليه صلى
الله علي وسلم بل جاء بإطلاقه ايضا للموقوف (وهو ما اضيف الى الصحابي من قول او
نحوه) والمقطوع ( وهو ما اضيف لتابعى كذالك).
Sesungguhnya hadist bukan hanya yang
dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada yang
mauquf ( dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’
(dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).[8][9]
Hal ini jelas bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan
hadist karena berbada dalam meninjau objek hadist itu sendiri.
B.
PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
Dalam khazanah ilmu hadist, istilah
hadist sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.
1. Pengertian Sunnah
Secara
bahasa sunnah diartikan sebagai :
الطريقة محمودة كانت او مذ مومة
Jalan yang dilalui, baik terpuji ataupun tercela[9][10]
Seperti
sabda Nabi Muhammad SAW.,
من سن في الاسلام سنة حسنة فله اجرها
واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيء. ومن سن في الإسلام سنة سيئة
كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير ان ينقص من اوزارهم شيئ (رواه مسلم)
Barang siapa merintis dalam islam suatu jalan yang baik, ia
memperoleh pahala jalan baik itu dan pahala orang yang melakukannya sesudah
dirinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa merintis
dalam islam suatu jalan yang buruk, ia akan menerima dosa jalan buruk itu dan
dosa orang yang mengerjakannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikit pun
dosa mereka. (H.R. Muslim)
Dari hadist tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata
“Sunnah” sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti jalan.
Dari
sudut pandang terminologi , para ahli tidak membedakan antara hadist dan
sunnah. Menurut mereka, hadist atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau,
dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku, sebelum
beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sunnah pada dasarnya sama dengan hadist, namun dapat
dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M Azami bahwa sunnah
berarti model kehidupan Nabi SAW, sedangkan hadist adalah periwayatan dari
model kehidupan Nabi SAW. Tersebut.[10][11]
2. Pengertian Khabar
Secara bahasa, khabar artinya warta atau berita[11][12] yang disampaikan dari
seseorang kepada orang lain. Khabar menurut istilah ahli hadist adalah.,
ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم او غيره
Segala sesuatu yang disandarkan atau
berasal dari Nabi SAW
3.
Pengertian Atsar
Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa
sesuatu. Menurut kebanyakan ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan
khabar dan hadist, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya lebih
umum disbanding khabar.
Para fuqoha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan
ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain-lain.
Dari pengertian tentang hadist, sunnah, khabar, dan atsar,
sebagaimana diuraikan diatas, menurut jumhur ulama ahli hadist, dapat
dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadist disebut juga dengan
sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula, sunnah dapat disebut dengan hadist,
khabar, dan atsra. Oleh karena itu, hadist mutawatir dapat juga disebut dengan
sunnah mutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga, hadist shahih juga dapat
disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih, dan atsar shahih.
C.
BENTUK-BENTUK HADIST
Berdasarkan pengertian hadist diatas, bentuk-bentuk hadist
terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi
(keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1. Hadist Qauli
Hadist Qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadist qauli adalah hadist
berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’,
peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun
akhlak.
Diantara contoh hadist qauli adalah hadist tentang kecaman
Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadist-hadist yang berasal
dari Rasulullah SAW,
عن ابي هريرة قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairoh r.a Rasulullah
bersabda : “barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia
bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka”. (H.R Muslim).
2.
Hadist Fi’li
Hadist fi’li adalah segala sesuatu perbuatan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadist tersebut terdapat berita tentang
perbuatan Nabi SAW yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan
menjadi keharusan bagi semua umat islam untuk mengikutinya.
Hadist yang termasuk kategori ini diantaranya adalah
hadist-hadist yang didalamnya terdapat kana-kata kanalyakunu ra’aitul ai’na.[12][13] contohnya
hadist berikut ini :
عن عائشة ان النبي صلى الله عليه وسلم
كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول : اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك
ولا املك (رواه ابو داود والترمذي و النسائ وابن ماجه)
Dari ‘Aisyah, Rasul SAW membagi
(nafkah dan gilirannya) antar istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda, “Ya
Allah ! Inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Janganlah Engkau mencelaku
dalam hal yang tidak aku miliki”. (H.R. Abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan
Ibnu Majah).
3.
Hadist Taqriri
Hadist Taqriri adalah hadist berupa ketetapan Nabi
SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW
membiarkan atau ,endiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya,
tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil
taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk
menetapkan suatu kepastian Syara’.[13][14]
Di antara contoh hadist taqriri adalah sikap Rosul SAW yang
membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu
peperangan, yaitu,
لايصلين احد العصر الا في بني قريضة
(رواه البخاري)
Janganlah seorang pun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani
Quraidhah. (H.R Al Bukhori).
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada
hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat
Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera
menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga
dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi
SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[14][15]
4. Hadist Hammi
Hadist Hammi
adalah hadist yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum
terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyu’ara. Sebagai
contoh adalah hadist dari Ibn Abbas, sebagai berikut,
عن عبدالله بن عباس يقول حين صام
النبي صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وامرنا بصيامه قالو : انه يوم تعظمه اليهود
والنصارى. فقال رسول الله صلى عليه وسلم : فإذا كان العلم المقبل صمنا يوم التاسع.
(رواه ابو داود)
Dari Abdullah ibn Abbas, ia berkata, “ketika Nabi SAW
berpuasa pada hari ‘Asyuara dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa,
mereka berkata, “Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh
Yahudi dan Nashrani”? Rasul Saw bersabda, “Tahun yang akan datang insya Allah
aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. (H.R Muslim).
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya karena beliau
wafat sebelum datang bulan Asyuara tahun berikutnya. Menurut para ulama,
seperti Asy-Syafi’I dan para pengikutnya, menjalankan hadist hammi ini
disunahkan, sebagaimana menjalankan sunah-sunah lainnya.[15][16]
5. Hadist Ahwali
Hadist Ahwali adalah hadist yang berupa hal ikhwal Nabi SAW
yang tidak termasuk kedalam kategori keempat bentuk hadist diatas. Hadist yang
termasuk kategori hadist ini adalah hadist-hadist yang menyangkut sifat-sifat
dan kepribadian Nabi SAW.[16][17]
Sifat
Nabi SAW diceritakan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik,
sebagai berikut,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
احسن الناس خلقا. (متفق عليه)
Rasul SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya (Mutafaq’
alaih)
Tentang keadaan fisik Nabi SAW., dijelaskan dalam hadist,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
احسن الناس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل البائن ولا بالقصر (رواه البخاري)
Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh.
Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari)
Pada
hadist lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata,
عن انسن رضي الله عنه قال : مامسست
حريرا ولا ديباجا ألين من كف النبي صلى الله عليه وسلم ولا شهمت ريحا قط او عرفا
قط اطيب من ريح او عرف النبي صلى الله عليه وسلم. (رواه البخاري)
Dari Anas ra. Berkata, “Aku belum pernah memegang sutra
murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Rasul SAW., juga
belum pernah mencium wewangian seharum Rasul SAW. (H.R. Bukhari).
D.
Struktur Hadist
1. Sanad
a.
Definisi Sanad
Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sebagai sandaran, dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar
kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama
yang mengemukakannya, diantaranya ialah:
- As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:
الاِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتَنِ
“Berita
tentang jalan matan”
-
Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu
neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis
tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak
fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya
bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber
berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan
salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap
para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil),
maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
b.
Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. رواه البخاري
Artinya:
“Memberitakan kepada kami Abdullah bin
Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad
bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW
membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud
dengan sanad adalah dimulai dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada
lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih
jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan hadits di atas .
2.
Matan
a.
Definisi Matan
Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من
الارض
yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata
matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut
istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya,
diantaranya:
- Menurut Muhammad At Tahhan
ما ينتهى اليه السند من الكلام
“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
- Menurut Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني
“lafadz
hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”
Jadi
pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu
berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan
dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya
berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat
atau pun yang lainnya.
b.
Contoh Matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. رواه متفق عليه
“warta
dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda:
barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis
ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan
bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا
هذا ما ليس منه فهو
رد
“barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’.”
3.
Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku)
dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan;
menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij
ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di
dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang
telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud
dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam
Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling
akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang
telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih
Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis
tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
4.
Tabaqat al-Ruwwat
Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau
sebaya. Sedangkan menurut istilah tabaqat ialah ;
قوم تقاربوا في السن والاسناد أوفي الا سناد
“Kaum
yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”
Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu
generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama
dalam periwayatan saja.menurut Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak
masa sahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 tabaqat yaitu sebagai
berikut:
a.
Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
b.
Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab
c.
Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin
d.
Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah
e.
Tabi’in yunior seperti Al-A’masy
f.
Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
g.
Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
h.
Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah
i.
Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i
j.
Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal
k.
Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori
l.
Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi
Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini adalah
menghindarkan kesamaan antara dua nama atau beberapa nama yang sama atau hampir
sama. Selain itu faedahnya juga yaitu untuk mengetahui ke-muttashil-an atau
ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu hadis tidak dapat ditentukan sebagai
hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui apakah tabi’in yang
meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau tidak.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa secara etimologi, hadist merupakan berita, dan history yang
memberi tahu tentang cara Rasulallah menjalankan syariat Islam.
Sedangkan secara Terminologi, ada beberapa pendapat
diantaranya dari para muhadistin, para pakar ushul fiqih, dan dari Fuqoha.
Ketiga pendapat tersebut pada intinya sama, yakni memberikan arti bahwa hadist
adalah segala sesuatu yang datangnya dari Nabi dan tidak lepas dari empat
unsure mutlaq pada kehidupan nabi. Yakni perkataan, perbuatan, ketetapan, dan
himmah Rasulallah. Adapun yang membedakannya adalah dari segi sudut pandang dan
keluasan objek dan batasan dari para pakar.
Menurut Muhadisin hadist adalah segala sesuatu yang
datangnya dari nabi dengan empat unsure yang mutlak, baik sebelum menjadi Rasul
ataupun sesudahnya.
Sedangkan para pakar ushul fiqih menyatakan bahwa hadist
adalah segala yang datang dari Nabi dengan empat unsure mutlak kehidupan nabi
focus pada hal yang berhubungan dengan masalah syariat islam.
Dan menurut Fuqoha, hadist adalah segala yang datang dari
Nabi dengan empat unsure mutlak kehidupan nabi yang tidak berhubungan dengan
masalah fardu dan wajib.
Adapun struktur hadist secara umum ada dua komponen, yakni
sanad dan matan. Sedangkan untuk lebih detailnya ada empat komponen yakni
sanad, matan, mukhorrij, dan Tobaqot arruwat.
DAFTAR
PUSTAKA
Solahudin, Agus. M, & Suyadi,
Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung. Pustaka Setia.
Abdurrahman & Sumarna, Elan.
2011. Metode Kritik Hadits : Telaah Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Bandung.
Remaja Rosdakarya.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar
Studi Hadits. Penerjemah Agus Suyadi & Dede Rodin. Bandung. Pustaka
Setia
Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul
Hadits. Alih Bahasa Mujiyo. Bandung Remaja Rosdakarya.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum al-Hadits.
Bandung. Pustaka Setia.
Al-Khatib, Muhammad. 1997. Al-Sunnah Qabla
Al-Tadwin. Beirut : Dar Al-Fikr
Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab juz
II. Mesir : Dar Al-Mishriyah
[1][2] M.M, Azami, Studies in
Hadist Methodology and Literature. Terj. Meth Kieraha. Jakarta : Lentera. 2003.
Hlm, 21-23.
[2][3] Endang soetari. Ilmu hadist
: kajian riwayah dan dirayah. Bandung : mimbar pustaka. 2005. Hlm 2
[3][4] Muhammad Ajaj Al-Khatib
Qobla At-Tadwin. Kairo : maktabah Wahbah.1975. hlm 19
[4][5] Ibid.
[5][6] ibid
[6][7] Soetari. Op.cit. hlm. 5
[7][8] Fatchur Rahman. Ikhtisar
Mushtalah Hadist. Bandung : almaarif. 1991. Hlm 6.
[8][9] Ibid. hlm 12.
[9][10] Soetari. op.cit. hlm. 6
[10][11] Azami, memahami..op.cit.
hlm. 113
[11][12] Mahmud Yunus. Op. cit. hlm.
113
[12][13] Ibid. hlm 15
[13][14] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadist.
Jakarta : Gaya Media Pratama. 1996. Hlm. 15
[14][15] Abbas Mutawali Hamadah.
As-Sunah An-Nabawiyah wa Makanatuh fi At-Tasyri. Kairo : Dar Al-Qoumiyah li
Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965. Hlm. 22-23
[15][16] Ranuwijaya. Op. cit. hlm
18.
[16][17] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar